Minggu, 19 Oktober 2014

Analisa Kasus dalam Hukum Perbankan

  1. A.    KASUS POSISI

Hubungan hukum Bank UOB Buana dan CV Delima Jaya dimulai ketika penandatanganan akta perjanjian kredit dan pemberian jaminan No. 41 pada 31 Oktober 2007. Akta itu kemudian diamandemen pada 19 September 2008 dan dibuat di bawah tangan. Untuk menjamin pelunasan utang, para termohon memberikan jaminan berupa empat sertifikat hak tanggungan, dua sertifikat jaminan fidusia dan jaminan pribadi atas nama Wiyanta.

Dalam perjalanannya, kredit CV Delima Jaya mulai macet pada 6 Januari 2009. UOB Buana lalu memberitahukan seluruh fasilitas kredit CV Delima Jaya berakhir pada 30 Juni 2009. CV Delima Jaya wajib melunasi utangnya 15 hari setelah 30 Juni 2009. Pengakhiran kredit sepihak itu ditentukan dalam perjanjian kredit, dimana UOB Buana berhak membatalkan tanpa syarat fasilitas kredit CV Delima Jaya bila pembayaran kredit tak lancar.

Hingga lewat jatuh tempo pada 15 Juli 2009, CV Delima Jaya tidak juga melunasi utangnya. Pada 22 Juli 2009, UOB Buana kembali mengirimkan surat permintaan pelunasan utang sebesar Rp41,871 miliar. Paling lambat harus dibayar pada 30 Juli 2009. Namun hingga permohonan pailit diajukan, CV Delima Jaya masih menunggak utang pada UOB Buana. Hingga 3 Agustus 2009, utang CV Delima Jaya diperhitungkan sebesar Rp42,349 miliar.

Selain itu, CV Delima Jaya berutang pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

  1. B.     ISU HUKUM

1        Bagaimana upaya penyelesaian kredit bermasalah dalam dunia perbankan di Indonesia?
2        Sarana hukum apa yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan kredit bermasalah?
3        Apakah pemberian kredit oleh bank UOB Buana kepada CV Delima Jaya diatas dengan perjanjian dibawah tangan melanggar asas kehati-hatian?
  1. C.    DASAR HUKUM

-          Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata
-          Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993
-          Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan

  1. D.    ANALISA

  1. Untuk menyelesaikan kredit bermasalah itu dapat ditempuh dua cara yaitu penyelamatan kredit dan penyelesaian kredit. Yang dimaksud dengan penyelamatan kredit adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui perundingan kembali antara bank sebagai kreditor dan nasabah peminjam sebagai debitor, sedangkan penyelesaian kredit lainnya adalah langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga hukum. Yang dimaksud dengan lembaga hukum dalam hal ini adalah Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jendral Piutang dan Lelang Negara (DJPLN), melalui Badan Peradilan, dan melalui Arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian sengketa. Mengenai penyelamatan kredit bermasalah dapat dilakukan dengan berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 yang pada prinsipnya mengatur penyelamatan kredit bermasalah sebelum diselesaikan melalui lembaga hukum adalah melalui alternatif penanganan secara penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Dalam surat edaran tersebut yang dimaksud dengan penyelamatan kredit bermasalah melalui rescheduling, reconditioning, dan restructuring adalah sebagai berikut:

  1. Melalui rescheduling (penjadwalan kembali), yaitu suatu upaya hukum untuk melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/ jangka waktu kredit termasuk tenggang (grace priod), termasuk perubahan jumlah angsuran. Bila perlu dengan penambahan kredit.
  2. Melalui reconditioning (persyaratan kembali), yaitu melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran, atau jangka waktu kredit saja. Tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan.
  3. Melalui restructuring (penataan kembali), yaitu upaya berupa melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian tambaha kredit, atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian kredit menjadi perusahaan, yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling atau reconditioning
Sedangkan mengenai penyelesaian kredit bermasalah dapat dikatakan merupakan langkah terakhir yang dapat dilakukan setelah langkah-langkah penyelamatan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP yang berupa restrukturisasi tidak efektif lagi. Dikatakan sebagai langkah terakhir karena penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga hukum memang memerlukan waktu yang relatif lama, dan bila melalui badan peradilan maka kepastian hukumnya baru ada setelah putusan pengadilan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mengingat penyelesaian melalui badan peradilan itu membutuhkan waktu yang relatif lama, maka penyelesaian kredit bermasalah itu dapat pula melalui lembaga-lembaga lain yang kompeten dalam membantu menyelesaikan kredit bermasalah. Kehadiran lembaga-lembaga lain itu dimaksudkan dapat mewakili kepentingan kreditor dan debitor dalam menangani kredit macet.  
  1. Sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaiaan masalah kredit macet perbankan yaitu :
Menurut pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata Kreditur pemegang Hipotik pertama (sekarang dikenal dengan Pemegang Hak Tanggungan sesuai dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan) dapat diberi kuasa untuk menjual barang agunan dimuka umum untuk melunasi hutang pokok atau bunga yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana mestinya. Dengan demikian pelaksanaannya tidak memerlukan fiat/persetujuan Ketuan Pengadilan Negeri atau proses penyitaan serta tidak memerlukan adanya grosse akte. Namun pelaksanaan pasal dimaksud harus dilakukan dengan memperhatikan pasal 1211 KUH Perdata yaitu melalui Kantor Lelang Negara sekarang Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Perlu diketahui bersama bahwa Undang-Undang Perbankan tidak cukup akomodatif untuk mengatur masalah kredit macet. Hal ini terbukti dari: a) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 tidak cukup banyak pasal yang mengatur tentang kredit macet; b) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 tidak mengatur jalan keluar dan langkah yang ditempuh perbankan menghadapi kredit macet; c) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 tidak menunjuk lembaga mana yang menangani kredit macet, dan sejauh mana keterlibatannya, dan 4) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998  tidak memberikan tempat yang cukup baik kepada komisaris bank sebagai badan pengawas.
  1. Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU No 10 tahun 1998. Biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi biasanya dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta otentik












  1. E.     SIMPULAN

  1. Penanganan kredit bermasalah sebelum diselesaikan secara yudisial dilakukan melalui penjadwalan (rescheduling), persyaratan (reconditioning), dan penataan kembali (restru cturing). Penanganan dapat melalui salah satu cara ataupun gabungan dari ketiga cara tersebut. Setelah ditempuh dengan cara tersebut dan tetap tidak ada kemajuan penanganan, selanjutnya diselesaikan secara yudisial melalui jalur pengadilan, pengadilan Niaga, melalui PUPN, dan melalui Lembaga Paksa Badan

2        Sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaiaan masalah kredit macet perbankan melalui pelaksanaan pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Pertama dapat diberi kuasa untuk menjual barang agunan dimuka umum untuk melunasi hutang pokok atau bunga yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana mestinya, dan dengan cara  pemegang grosse akte dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat selain itu perlu dibentuk undang undang khusus tentang penanggulangan kredit macet baik dari segi hukum substantif, pengawasan preventif ataupun segi prosedural atau segi represif lainnya.

3        Dalam kasus diatas pemberian kredit yang dilakukan Bank UOB Buana kepada CV Delima Jaya dapat dikatakan dalam jumlah yang sangat besar akan tetapi dibuat dalam perjanjian bawah tangan yang menurut pendapat saya hal tersebut bertentangan atau melanggar prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.




NB : Tugas UAS Hukum Perbankan jaman semester 3! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar