·
Thomas
Aquinas: Hanya Allah saja yang dapat mengatur
alam semesta. Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan segala sesuatu telah
diarahkan sesuai dengan tujuannya. Dalam kaitannya mengenai tujuan yang hendak
dicapai oleh manusia, ia membagi Hukum menjadi 4 macam:
o Lex ᴂterna:
merupakan suatu aturan menguasai alam semesta melalui kehendak Allah sesuai
dengan kebijaksananNya. Semua makhluk berada dalam kerangka tujuan Lex ᴂterna ini dan manusia mempunyai
suatu tujuan tertentu karena manusia mekhluk sosial.
o Lex naturalis:
merupakan yang khusus berkaitan dengan manusia, partisipasi makhluk rasional
dalam Lex ᴂterna. Lex naturalis inilah yang yang
mengarahkan aktivitas manusia melalui aturan-aturan dasar yang menetapkan apa
yang baik yang harus dilakukan dan apa yang jahat yang harus dihindari. Thomas
Aquinas mengemukakan empat kecenderungan manusia yang dianggap baik:
§ Kecenderungan
naluriah manusia untuk memelihara kehidupan,
§ Adanya
kecenderungan antara keinginan melakukan hubungan seksual dalam bingkai suami
isteri dengan keinginan membesarkan dan mendidik anak,
§ Manusia
memiliki kerinduan secara alamiah untuk mengatahui kebenaran tentang Allah,
§ Manusia
ingin hidup dalam masyarakat sehingga wajar bagi manusia untuk selalu
menghindari segala sesuatu yang merugikan dalam pergaulan hidup tersebut.
o Lex divina:
pelengkap lex naturalis, yaitu
pedoman-pedoman dari Allah untuk mengarahkan
bagaimana seyogianya manusia bertindak.
o Lex humana:
merupkan aturan-aturan yang berasal dari pemerintah atau peraturan yang dibuat
oleh manusia yang didasarkan atas lex
naturalis, yang dibuat menggunakan kekuatan nalar.
Perbedaan
pemikiran Hart dan Aquinas:
Hart
menyatakan bahwa keadaan optimum manusia bukanlah tujuan manusia karena ia
menginginkannya, melaikan karena itu secara kodrati merupakan tujuan manusia.
Akan tetapi tujuan hidup manusia menurut Thomas
Aquinas, bukan hanya untuk mencapai kebahagiaan duniawi belaka, melainkan
untuk mendapatkan kebahagiaan kekal sebagai tujuan bersifat supernatural.
Perkembangan
pandangan tentang tujuan Hukum
·
Aristoteles:
Aristoteles melihat bahwa secara
alamiah, manusia adalah binatang politik (zoon
politicon) atau makhluk bermasyarakat. Tujuan utama organisasi politik
menurutunya adalah suatu Negara diasarkan atas Hukum sebagai satu-satunya
sarana yang tepat dan dapat digunakan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Tetapi, akan terjadi kesulitan akibat penerapan Hukum yang kaku. Untuk
mengatasi masalah itu, Aristoteles mengusulkan adanyan equity, yaitu “koreksi terhadap Hukum apabila Hukum itu kurang
tepat karena bersifat umum”. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan Hukum menurut Aristoteles
adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Untuk mencapai kehidupa yang
kebih baik itu, diperlukanlah Hukum yang dapat dilakukan equity jika terjadi kekakuan. Dalam kehidupan bermasyarakat,
manusia tidak membutuhkan ketertiban, manusia membutuhkan keadilan alokasi
kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat.
·
Thomas
Aquinas: Thomas Aquinas menyatakan bahwa secara
ideal, Hukum terpancar dari kekuasaan untuk memerintah guna kebaikan bersama.
Ia lalu menyatakan bahwa Hukum adalah sesuatu yang hidup secara batiniah di
dalam masyarakat. Tugas Hukum yang memadai tertuis dalam hati dan kehendak
rakyat karena manusia merupakan makhluk rasional. Hukum menurutu Thomas Aquinas
terutama berkaitan dengan kewajiban yang diletakkan oleh nalar.
·
John
Locke: Menurut John Locke, setiap pribadi memiliki
hak-hak alamiah yang diabwa sejak lahir, yaitu hak hidup hak atas kebebasan,
dan hak milik. Kegunaan Negara menurut John Locke adalah untuk mempertahankan
hak-hak alamiah tersebut. Kehidupan bernegara ini diatur oleh Hukum.
·
Jeremy
Bentham: Jeremy bentham berpegang kepada pola
piker empiris dalam mengembangkan pandangannya. Ajarannya disebut utilitarianisme. Menurutnya,
alam telah menempatkan manusia di bawah perintah dua tuan yang berkuasa, yaitu
perintah dan sengsara. Utility
menurut Bentham adalah prinsip-prinsip yang menyetujui atau menolak setiap
tindakan yang tampak memperbesar atau mengurangi kebahagiaan pihak yang
kepentingannya terpenagaruh oleh tindakan itu. Menurut Bentham, pembentuk
undang-undang yang ingin menjamin kebahagiaan masyarakat harus berjuang untuk
mencapai empat tujuan, yaitu subsitensi, kelimpahan, persamaan, dan kemanan
bagi warga Negara.
Perkembangan
makna Hukum dalam kehidupan bermayarakat
Menurut
Roscoe Pound, gagasan mengenai tujuan Hukum tidak dapat dilepaskan dari gagasan
apa sebenarnya makna Hukum tersebut. Roscoe Pound mengemukakan dua belas
gagasan mengenai apa yang dimaksud dengan Hukum, yaitu:
1. Hukum
dipandang sebagai aturan atau seperangkat aturan tentang tingkah laku manusia yang
ditetapkan oleh kekuasaan yang bersifat ilahi.
2.
Hukum dimaknai sebagai
suatu tradisi masa lalu yang terbukti berkenan bagi para dewa sehingga menuntun
manusia untuk mengarungi kehidupan dengan selamat. Hukum dipandang sebagai
seperangkat aturan moral yang dicatat dan dipelihara.
3.
Hukum dimaknai sebagai
catatan kearifan para orang tua yang telah makan banyak garam atau pedoman
tingkah laku manusia yang telah ditetapkan secara ilahi.
4.
Hukum dipandang sebagai
sistem prinsip-prinsip yang ditemukan secara filsufis dan prinsip-prinsip itu
mengungkapkan hakikat hal-hal yang merupakan pedoman bagi tingkah laku manusia.
5.
Gagasan ini merupakan
lanjutan dari gagasan keempat. Di tangan para filsuf, prinsip-prinsip itu
ditelaah secara cermat, diinterpretasi, dan kemudian digunakan. Hukum diartikan
sebagai seperangkat aturan dan pernyataan kode moral yang abadi dan tidak dapat
diubah.
6.
Hukum dipandang sebagai
seperangkat perjanjian yang dibuat oleh orang-orang dalam suatu masyarakat yang
diorganisasi secara politis. Dalam hal ini, Hukum diidentifikasikan sabagi
undang-undang dan dekrit yang
diundangkan dalam Negara kota yang ada pada Yunani kuno.
7.
Hukum dipandang sebagai
suatu refleksi pikiran ilahi yang menguasai alam semesta.
8.
Hukum dipandangn
sebagai serangkaian perintah penguasa dalam suatu masyarakat yang dioraganasi
secara politis. Pandangan ini hanya mengakui Hukum positif, yaitu Hukum yang
dibuat oleh penguasa.
9.
Hukum dipandang sebagai
sistem pedoman yang ditemukan berdasarkan pengalaman manusia dan dengan pedoman
tersebut manusia secara individual akan merealisasikan kebebasannya sebanyak
mungkin seiring dengan kebebasan yang sama yang dimiliki orang lain.
10.
Hukum dipandang sebagai
system prinsip yang ditemukan secara filsufis dan dikembangkan secara rinci
melalui tulisan yuristik dan putusan pengadilan. System prinsip tersebut
digunakan untuk mengukur kehidupan lahiriah manusia melalui nalar atau
menyelaraskan kehendak manusia secara individual dengan kehendak manusia
sesamanya.
11.
Hukum dipandangn
sebagai suatu sistem aturan yang dipaksakan kepada masyarakat oleh sekelompok
kelas yang berkuasa baik secara sengaja atau tidak unutk meneguuhkan
kepentingan kelas yang berkuasa tersebut.
12. Hukum
dipandang sebagai suatu gagasan yang ditimbulkan dari prinsip-prinsip ekonomi
dan sosial tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat, ditemukan berdasarkan
observasi, dinyatakan dalam petunjuk-petunjuk yang bekerja melalui pengalaman
manusia mengenai apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan dalam pelaksanaan
keadilan.
Tujuan
Hukum dari prespektif ilmu sosial
Pendekatan
dari perspektif ilmu-ilmu sosial mengabaikan aspek eksistensial manusia. Oleh
karena itu, dalm perspektif ilmu-ilmu sosial, Hukum hanya ditujukan dalam
pemenuhan aspek fisik manusia saja. Tujuan Hukum bukan sedekar berkaitan dengan
aspek fisik, melainkan dan lebih-lebih harus mempertimbangkan aspek
eksistensial manusia.
Moral
sebagai landasan tujuan Hukum
Manusia
memiliki hawa nafsu, selera, keinginan, dan pikiran yang berpadu sedemikian
rupa sehingga ia dapat melakukan pemilihan moral dalam membangun perjalanan
hidupnya. Moral yang luhur dapat terjadi karena adanya kendali terhadap hawa
nafsu melalui pendayagunaan kehendak dan pikiran. Secara alamiah terdapat
beberapa moral yang luhur, yaitu keberanian, pengekangan diri, keadilan, dan
kehati-hatian ditambah dengan pengetahuan manusia tentang Hukum alam dan Hukum
moral.
Menurut
Thomas Aquinas, Hukum terutama
berkaitan dengan kewajiban yang diletakkan oleh nalar. Hukum harus berisi
aturan yang menggerakkan manusia untuk bertindak benar. Lon L. Fuller mengatakan bahwa masalah moralitas merupakan bagian
dari Hukum alam. Hukum dapat menjaga kehidupan bermasyarakat dari gangguan
tindakan manusia yang berhati setan. Hukum diciptakan untuk menjaga fungsi
eksistensial kehidupan bermasyarakat dari tindakan manusia atau sekelompok
manusia lain yang berusaha merusak eksistensi itu. Oleh karena itulah, moral
dalam hal ini merupakan sesuatu yang bersifat operasional. Menurut Ronald M. Dworkin, hakim terikat oleh
prinsip moral dan harus memutuskan sengketa dengan mengakui hak-hak
institusional seseorang, tetapi legislator melakukan tugasnya secara tepat
ketika mereka mengimplementasikan kebijakan dari berbagai jenis.
Prof. Peter tidak sependapat dengan apa
yang dikatakan oleh Dworkin, karena apabila dicermati, menurut Dworkin dasar
pemikiran yang melandasi legislator adalah pragmatisme, tidak menyinggung
masalah moral. Menurut Prof. Peter, prinsip moral sudah harus diapdopsi pada
saat pembuatan undang-undang. Undang-undang harus dapat mencerminkan prinsip
moral dalam kerangka fungsi eksternal manusia. Hukum juga tidak dapat memaksa
manusia untuk berbuat baik melebihi kapasitasnya sebagai manusia.
Damai
sejahtera sebagai tujuan Hukum
Sejak
Thomas Hobbes mengemukakan bahwa tujuan Hukum adalah untuk menciptakan
ketertiban sosial, sejak itu pula ketertiban dipandang sebagai sesuatu yang
mutlak harus diciptakan oleh Hukum. Pandangan ini tidak tepat karena yang
dimaksud dengan keadaan tidak kacau balau sebenarnya bukan tertib (order), tetapi damai sejahtera (peace).
Dalam
keadaan damai sejahtera, terdapat kelimpahan, yang kuat tidak menindas yang
lemah, yang berhak benar-benar mendapatkan haknya dan adanya perlindungan Hukum
bagi rakyat. Sedangakan situasi tertib mempunyai makna tidak kacau. Situasi ini
dapat dicapai meskipun di dalamnya terdapat penindasan oleh yang kuat terhadap
yang lemah atau adanya ketidakseimbangan perlindungan. Dalam situasi tertib
terdapat kesenjangan, dalam situasi damai sejahtera perbedaan selalu ada tetapi
tidak sampai menimbulkan kesenjangan. Dalam situasi tertib, tidak muungkin ada
perbedaan pendapat, karena hal itu akan mengganggu ketertiba. Sedangkan dalam
situasi damai sejahtera, perbedaan pendapat diarahkan pada pencapaian kualitas
kehidupan yang lebih tinggi, bukan dipadamkan. Oleh karena itulah, Hukum harus
dapat menciptakan damai sejahtera, bukan ketertiban. Damai sejahtera inilah
yang merupakan tujuan Hukum.
Unutk
menciptakan damai sejahtera tersebut, Hukum mempertimbangkan
kepentingan-kepentingan secara cermat dan menciptakan keseimbangan di antara
kepentingan-kepentingan itu. Tujuan unutk mencapai damai sejahtera itu dapat
terwujud apabila Hukum sebanyak mungkin memberikan pengaturan yang adil, yaitu
pengaturan yang di dalamnya terdapat kepentingan-kepentingan yang dilindungi
secara seimbang sehingga setiap orang sebanyak mungkin memperoleh apa yang
menjadi bagiannya.
Akan
tetapi, keadilan tidak boleh disamakan dengan persamaan, keadilan bukan berarti
setiap orang harus mendapatkan jatah yang sama. Thomas Aquinas mengemukakan dua
macam keadilan, yaitu:
·
Keadilan
Distributif (iutitia distributiva): Keadilan
ini merujuk pada adanya persamaan di antara manusia didasarkan atas prinsip
proporsionalitas. Untuk melaksanakan keadilan ini, diperlukan adanya pihak yang
membagi yang bersifat superordinasi terhadap lebih dari satu orang atau
kelompok orang sebagai pihak yang menerima bagian yang sama-sama mempunyai
kedudukan yang bersifat subordinasi terhaadap yang membagi. Yang menjadi tolak
ukur dalam prinsip proporsionalitas dalam kerangka keadilan distributive adalah
jasa, prestasi, kebutuhan, dan fungsi.
·
Keadilan
Komutatif (iustitia commutativa):
Keadilan ini terdapat pada hubungan yang bersifat koordinatif di antara para
pihak. Untuk melihat bekerjanya keadilan ini diperlukan dua pihak yang
mempunyai kedudukan sama. Contoh keadilan komutatif yang diberikan oleh Aristoteles
adalah antara kerja dan upah dan antara kerugian dang anti rugi.
Keadilan
masih bersifat abstrak, oleh karena itulah keadilan harus diwujudkan dalam
situasi yang konkret, yaitu dalam alokasi kepentingan-kepentingan warga
masyarakat sedemikin rupa melalui kepatutan sehingga kehidupan masyarakat yang
harmonis tetap dipertahankan.
Kepastian
Hukum
Kepastian Hukum engandung dua pengertian:
1.
Adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh dan
perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan,
2.
Berupa keamanan Hukum
bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapt mengetahui apa saja yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Kepastian
Hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undnag-undang , melainkan juga
adanya konstistentsi dalam putusan hakim yang satu dengan putusan hakim yang
lain untuk serupa yang telah diputuskan.
Baik
di Negara common law maupun civil law, apabila Hukum lebih mengarah
pada kepastian Hukum, artinya itu semakin tegar dan tajam peraturan Hukum,
semakin terdesaklah keadilan. Akhirnya terjadi summum ius summa iniura yang artinya keadilan tertiggi adalah
ketidakadilan tertinggi. Dengan demikian terdapat antinomi antara tuntutan
keadilan dan tuntutan kepastian Hukum.
NB : Cuman iseng ngerangkum buku Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., LL.M.biar dulu gampang memahami. Bekal awal yang sangat bermanfaat!
assalamualiakum kak agus, saya mau nanya apakah ini rangkuman dari bab 1 hingga bab 7 buku pih prf dr peter mahmud marzuki?
BalasHapusIni rangkuman bab 3 saja
Hapus