Minggu, 19 Oktober 2014

Rangkuman Buku Pengantar Ilmu Hukum Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., LL.M.



·         Thomas Aquinas: Hanya Allah saja yang dapat mengatur alam semesta. Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan segala sesuatu telah diarahkan sesuai dengan tujuannya. Dalam kaitannya mengenai tujuan yang hendak dicapai oleh manusia, ia membagi Hukum menjadi 4 macam:
o   Lex ᴂterna: merupakan suatu aturan menguasai alam semesta melalui kehendak Allah sesuai dengan kebijaksananNya. Semua makhluk berada dalam kerangka tujuan Lex ᴂterna ini dan manusia mempunyai suatu tujuan tertentu karena manusia mekhluk sosial.
o   Lex naturalis: merupakan yang khusus berkaitan dengan manusia, partisipasi makhluk rasional dalam Lex ᴂterna. Lex naturalis inilah yang yang mengarahkan aktivitas manusia melalui aturan-aturan dasar yang menetapkan apa yang baik yang harus dilakukan dan apa yang jahat yang harus dihindari. Thomas Aquinas mengemukakan empat kecenderungan manusia yang dianggap baik:
§  Kecenderungan naluriah manusia untuk memelihara kehidupan,
§  Adanya kecenderungan antara keinginan melakukan hubungan seksual dalam bingkai suami isteri dengan keinginan membesarkan dan mendidik anak,
§  Manusia memiliki kerinduan secara alamiah untuk mengatahui kebenaran tentang Allah,
§  Manusia ingin hidup dalam masyarakat sehingga wajar bagi manusia untuk selalu menghindari segala sesuatu yang merugikan dalam pergaulan hidup tersebut.
o   Lex divina: pelengkap lex naturalis, yaitu pedoman-pedoman dari Allah untuk mengarahkan  bagaimana seyogianya manusia bertindak.
o   Lex humana: merupkan aturan-aturan yang berasal dari pemerintah atau peraturan yang dibuat oleh manusia yang didasarkan atas lex naturalis, yang dibuat menggunakan kekuatan nalar.
Perbedaan pemikiran Hart dan Aquinas:
            Hart menyatakan bahwa keadaan optimum manusia bukanlah tujuan manusia karena ia menginginkannya, melaikan karena itu secara kodrati merupakan tujuan manusia. Akan tetapi tujuan hidup manusia menurut Thomas Aquinas, bukan hanya untuk mencapai kebahagiaan duniawi belaka, melainkan untuk mendapatkan kebahagiaan kekal sebagai tujuan bersifat supernatural.
Perkembangan pandangan tentang tujuan Hukum
·         Aristoteles: Aristoteles melihat bahwa secara alamiah, manusia adalah binatang politik (zoon politicon) atau makhluk bermasyarakat. Tujuan utama organisasi politik menurutunya adalah suatu Negara diasarkan atas Hukum sebagai satu-satunya sarana yang tepat dan dapat digunakan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Tetapi, akan terjadi kesulitan akibat penerapan Hukum yang kaku. Untuk mengatasi masalah itu, Aristoteles mengusulkan adanyan equity, yaitu “koreksi terhadap Hukum apabila Hukum itu kurang tepat karena bersifat umum”. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan Hukum menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Untuk mencapai kehidupa yang kebih baik itu, diperlukanlah Hukum yang dapat dilakukan equity jika terjadi kekakuan. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia tidak membutuhkan ketertiban, manusia membutuhkan keadilan alokasi kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat.
·         Thomas Aquinas: Thomas Aquinas menyatakan bahwa secara ideal, Hukum terpancar dari kekuasaan untuk memerintah guna kebaikan bersama. Ia lalu menyatakan bahwa Hukum adalah sesuatu yang hidup secara batiniah di dalam masyarakat. Tugas Hukum yang memadai tertuis dalam hati dan kehendak rakyat karena manusia merupakan makhluk rasional. Hukum menurutu Thomas Aquinas terutama berkaitan dengan kewajiban yang diletakkan oleh nalar.
·         John Locke: Menurut John Locke, setiap pribadi memiliki hak-hak alamiah yang diabwa sejak lahir, yaitu hak hidup hak atas kebebasan, dan hak milik. Kegunaan Negara menurut John Locke adalah untuk mempertahankan hak-hak alamiah tersebut. Kehidupan bernegara ini diatur oleh Hukum.
·         Jeremy Bentham: Jeremy bentham berpegang kepada pola piker empiris dalam mengembangkan pandangannya. Ajarannya disebut utilitarianisme. Menurutnya, alam telah menempatkan manusia di bawah perintah dua tuan yang berkuasa, yaitu perintah dan sengsara. Utility menurut Bentham adalah prinsip-prinsip yang menyetujui atau menolak setiap tindakan yang tampak memperbesar atau mengurangi kebahagiaan pihak yang kepentingannya terpenagaruh oleh tindakan itu. Menurut Bentham, pembentuk undang-undang yang ingin menjamin kebahagiaan masyarakat harus berjuang untuk mencapai empat tujuan, yaitu subsitensi, kelimpahan, persamaan, dan kemanan bagi warga Negara.
Perkembangan makna Hukum dalam kehidupan bermayarakat
            Menurut Roscoe Pound, gagasan mengenai tujuan Hukum tidak dapat dilepaskan dari gagasan apa sebenarnya makna Hukum tersebut. Roscoe Pound mengemukakan dua belas gagasan mengenai apa yang dimaksud dengan Hukum, yaitu:
1.      Hukum dipandang sebagai aturan atau seperangkat aturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan oleh kekuasaan yang bersifat ilahi.
2.      Hukum dimaknai sebagai suatu tradisi masa lalu yang terbukti berkenan bagi para dewa sehingga menuntun manusia untuk mengarungi kehidupan dengan selamat. Hukum dipandang sebagai seperangkat aturan moral yang dicatat dan dipelihara.
3.      Hukum dimaknai sebagai catatan kearifan para orang tua yang telah makan banyak garam atau pedoman tingkah laku manusia yang telah ditetapkan secara ilahi.
4.      Hukum dipandang sebagai sistem prinsip-prinsip yang ditemukan secara filsufis dan prinsip-prinsip itu mengungkapkan hakikat hal-hal yang merupakan pedoman bagi tingkah laku manusia.
5.      Gagasan ini merupakan lanjutan dari gagasan keempat. Di tangan para filsuf, prinsip-prinsip itu ditelaah secara cermat, diinterpretasi, dan kemudian digunakan. Hukum diartikan sebagai seperangkat aturan dan pernyataan kode moral yang abadi dan tidak dapat diubah.
6.      Hukum dipandang sebagai seperangkat perjanjian yang dibuat oleh orang-orang dalam suatu masyarakat yang diorganisasi secara politis. Dalam hal ini, Hukum diidentifikasikan sabagi undang-undang  dan dekrit yang diundangkan dalam Negara kota yang ada pada Yunani kuno.
7.      Hukum dipandang sebagai suatu refleksi pikiran ilahi yang menguasai alam semesta.
8.      Hukum dipandangn sebagai serangkaian perintah penguasa dalam suatu masyarakat yang dioraganasi secara politis. Pandangan ini hanya mengakui Hukum positif, yaitu Hukum yang dibuat oleh penguasa.
9.      Hukum dipandang sebagai sistem pedoman yang ditemukan berdasarkan pengalaman manusia dan dengan pedoman tersebut manusia secara individual akan merealisasikan kebebasannya sebanyak mungkin seiring dengan kebebasan yang sama yang dimiliki orang lain.
10.  Hukum dipandang sebagai system prinsip yang ditemukan secara filsufis dan dikembangkan secara rinci melalui tulisan yuristik dan putusan pengadilan. System prinsip tersebut digunakan untuk mengukur kehidupan lahiriah manusia melalui nalar atau menyelaraskan kehendak manusia secara individual dengan kehendak manusia sesamanya.
11.  Hukum dipandangn sebagai suatu sistem aturan yang dipaksakan kepada masyarakat oleh sekelompok kelas yang berkuasa baik secara sengaja atau tidak unutk meneguuhkan kepentingan kelas yang berkuasa tersebut.
12.  Hukum dipandang sebagai suatu gagasan yang ditimbulkan dari prinsip-prinsip ekonomi dan sosial tentang tingkah laku manusia dalam masyarakat, ditemukan berdasarkan observasi, dinyatakan dalam petunjuk-petunjuk yang bekerja melalui pengalaman manusia mengenai apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan dalam pelaksanaan keadilan.
Tujuan Hukum dari prespektif ilmu sosial
            Pendekatan dari perspektif ilmu-ilmu sosial mengabaikan aspek eksistensial manusia. Oleh karena itu, dalm perspektif ilmu-ilmu sosial, Hukum hanya ditujukan dalam pemenuhan aspek fisik manusia saja. Tujuan Hukum bukan sedekar berkaitan dengan aspek fisik, melainkan dan lebih-lebih harus mempertimbangkan aspek eksistensial manusia.
Moral sebagai landasan tujuan Hukum
            Manusia memiliki hawa nafsu, selera, keinginan, dan pikiran yang berpadu sedemikian rupa sehingga ia dapat melakukan pemilihan moral dalam membangun perjalanan hidupnya. Moral yang luhur dapat terjadi karena adanya kendali terhadap hawa nafsu melalui pendayagunaan kehendak dan pikiran. Secara alamiah terdapat beberapa moral yang luhur, yaitu keberanian, pengekangan diri, keadilan, dan kehati-hatian ditambah dengan pengetahuan manusia tentang Hukum alam dan Hukum moral.
            Menurut Thomas Aquinas, Hukum terutama berkaitan dengan kewajiban yang diletakkan oleh nalar. Hukum harus berisi aturan yang menggerakkan manusia untuk bertindak benar. Lon L. Fuller mengatakan bahwa masalah moralitas merupakan bagian dari Hukum alam. Hukum dapat menjaga kehidupan bermasyarakat dari gangguan tindakan manusia yang berhati setan. Hukum diciptakan untuk menjaga fungsi eksistensial kehidupan bermasyarakat dari tindakan manusia atau sekelompok manusia lain yang berusaha merusak eksistensi itu. Oleh karena itulah, moral dalam hal ini merupakan sesuatu yang bersifat operasional. Menurut Ronald M. Dworkin, hakim terikat oleh prinsip moral dan harus memutuskan sengketa dengan mengakui hak-hak institusional seseorang, tetapi legislator melakukan tugasnya secara tepat ketika mereka mengimplementasikan kebijakan dari berbagai jenis.
            Prof. Peter tidak sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Dworkin, karena apabila dicermati, menurut Dworkin dasar pemikiran yang melandasi legislator adalah pragmatisme, tidak menyinggung masalah moral. Menurut Prof. Peter, prinsip moral sudah harus diapdopsi pada saat pembuatan undang-undang. Undang-undang harus dapat mencerminkan prinsip moral dalam kerangka fungsi eksternal manusia. Hukum juga tidak dapat memaksa manusia untuk berbuat baik melebihi kapasitasnya sebagai manusia.
Damai sejahtera sebagai tujuan Hukum
            Sejak Thomas Hobbes mengemukakan bahwa tujuan Hukum adalah untuk menciptakan ketertiban sosial, sejak itu pula ketertiban dipandang sebagai sesuatu yang mutlak harus diciptakan oleh Hukum. Pandangan ini tidak tepat karena yang dimaksud dengan keadaan tidak kacau balau sebenarnya bukan tertib (order), tetapi damai sejahtera (peace).
            Dalam keadaan damai sejahtera, terdapat kelimpahan, yang kuat tidak menindas yang lemah, yang berhak benar-benar mendapatkan haknya dan adanya perlindungan Hukum bagi rakyat. Sedangakan situasi tertib mempunyai makna tidak kacau. Situasi ini dapat dicapai meskipun di dalamnya terdapat penindasan oleh yang kuat terhadap yang lemah atau adanya ketidakseimbangan perlindungan. Dalam situasi tertib terdapat kesenjangan, dalam situasi damai sejahtera perbedaan selalu ada tetapi tidak sampai menimbulkan kesenjangan. Dalam situasi tertib, tidak muungkin ada perbedaan pendapat, karena hal itu akan mengganggu ketertiba. Sedangkan dalam situasi damai sejahtera, perbedaan pendapat diarahkan pada pencapaian kualitas kehidupan yang lebih tinggi, bukan dipadamkan. Oleh karena itulah, Hukum harus dapat menciptakan damai sejahtera, bukan ketertiban. Damai sejahtera inilah yang merupakan tujuan Hukum.
            Unutk menciptakan damai sejahtera tersebut, Hukum mempertimbangkan kepentingan-kepentingan secara cermat dan menciptakan keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan itu. Tujuan unutk mencapai damai sejahtera itu dapat terwujud apabila Hukum sebanyak mungkin memberikan pengaturan yang adil, yaitu pengaturan yang di dalamnya terdapat kepentingan-kepentingan yang dilindungi secara seimbang sehingga setiap orang sebanyak mungkin memperoleh apa yang menjadi bagiannya.
            Akan tetapi, keadilan tidak boleh disamakan dengan persamaan, keadilan bukan berarti setiap orang harus mendapatkan jatah yang sama. Thomas Aquinas mengemukakan dua macam keadilan, yaitu:
·         Keadilan Distributif (iutitia distributiva): Keadilan ini merujuk pada adanya persamaan di antara manusia didasarkan atas prinsip proporsionalitas. Untuk melaksanakan keadilan ini, diperlukan adanya pihak yang membagi yang bersifat superordinasi terhadap lebih dari satu orang atau kelompok orang sebagai pihak yang menerima bagian yang sama-sama mempunyai kedudukan yang bersifat subordinasi terhaadap yang membagi. Yang menjadi tolak ukur dalam prinsip proporsionalitas dalam kerangka keadilan distributive adalah jasa, prestasi, kebutuhan, dan fungsi.
·         Keadilan Komutatif (iustitia commutativa): Keadilan ini terdapat pada hubungan yang bersifat koordinatif di antara para pihak. Untuk melihat bekerjanya keadilan ini diperlukan dua pihak yang mempunyai kedudukan sama. Contoh keadilan komutatif yang diberikan oleh Aristoteles adalah antara kerja dan upah dan antara kerugian dang anti rugi.
Keadilan masih bersifat abstrak, oleh karena itulah keadilan harus diwujudkan dalam situasi yang konkret, yaitu dalam alokasi kepentingan-kepentingan warga masyarakat sedemikin rupa melalui kepatutan sehingga kehidupan masyarakat yang harmonis tetap dipertahankan.

Kepastian Hukum
            Kepastian Hukum engandung dua pengertian:
1.      Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh dan perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan,
2.      Berupa keamanan Hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapt mengetahui apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Kepastian Hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undnag-undang , melainkan juga adanya konstistentsi dalam putusan hakim yang satu dengan putusan hakim yang lain untuk serupa yang telah diputuskan.
Baik di Negara common law maupun civil law, apabila Hukum lebih mengarah pada kepastian Hukum, artinya itu semakin tegar dan tajam peraturan Hukum, semakin terdesaklah keadilan. Akhirnya terjadi summum ius summa iniura yang artinya keadilan tertiggi adalah ketidakadilan tertinggi. Dengan demikian terdapat antinomi antara tuntutan keadilan dan tuntutan kepastian Hukum.

  NB : Cuman iseng ngerangkum buku Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., LL.M.biar dulu gampang memahami. Bekal awal yang sangat bermanfaat!


2 komentar:

  1. assalamualiakum kak agus, saya mau nanya apakah ini rangkuman dari bab 1 hingga bab 7 buku pih prf dr peter mahmud marzuki?

    BalasHapus