Kejahatan
(crime) merupakan tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma
sosial, sehingga masyarakat menentangnya. Dalam konteks sosial, kejahatan
merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap tempat dan waktu. Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan bukan saja
merupakan masalah bagi suatu masyarakat tertentu yang berskala lokal maupun
nasional, tapi juga menjadi masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat di
dunia, pada masa lalu, kini dan di masa mendatang, sehingga dapat dikatakan
bahwa kejahatan sebagai a universal phenomenon. Menurut Bonger, arti
kejahatan dipandang dari sudut formil (menurut hukum) adalah suatu perbuatan
yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi pidana. Selanjutnya ia juga
mengatakan bila ditinjau lebih dalam, suatu kejahatan merupakan sebagian dari
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. Dari pengertian yang dikemukakan Bonger
tersebut, ia menyimpulkan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti
sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan
(hukuman atau tindakan).
Korupsi,
human trafficking (perdagangan manusia), perdagangan narkotika dan
obat-obatan terlarang, kejahatan terorganisir, adalah tema-tema yang juga
disorot oleh hukum pidana. Namun apakah sorotan,tersebut dilakukan dengan cara
yang tepat? Maka pertanyaan pokoknya ialah apakah dengan dan melalui hukum
pidana bentuk-bentuk kejahatan di atas dan yang lainnya dapat dikendalikan atau
tepatnya diberantas: apakah hukum pidana merupakan sarana paling tepat? Sama
pentingnya ialah pertanyaan apakah hukum pidana ketika berhadapan dengan
persoalan-persoalan di atas mampu memberikan keadilan? Apakah hukum pidana
sudah selaras dengan hak-hak asasi manusia dengan tuntutan Negara Hukum (rule
of law)? Apakah peraturan perundangundangan (hukum) pidana terang dan
jelas, terutama bagi warga biasa yang diharapkan mematuhi peraturan yang
termuat di dalamnya. Hal mana sama pentingnya bagi polisi, kejaksaan dan hakim
(pidana) yang harus menerapkan peraturan perundang-undangan. Apakah
perundang-undangan yang ada memenuhi prinsip kepastian hukum,dengan asas lex
certa?
Menilik
dari segi sejarah pada akhir masa pemerintahan Orde Baru memunculkan harapan
bahwa Indonesia akan berkembang menjadi negara hukum demokratis yang
menghormati dan menjunjung tinggi rule of law. Dalam rangka mewujudkan
hal tersebut telah diambil pelbagai langkah formal, antara lain, menambahkan Bab
XA ke dalam konstitusi (UUD 1945) dan menandatangani instrumen hak asasi
manusia internasional seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik (ICCPR). Dengan itu semua Indonesia baik secara eksternal maupun
internal mengikatkan diri untuk bertindak sejalan dengan (tuntutan) rule of
law. Kewajiban serupa juga muncul berkenaan dengan (pengembangan dan
penegakan) hukum pidana di Indonesia. Kewajiban yang disebut terakhir mencakup
dua hal: pertama kewajiban untuk mengembangkan hukum pidana yang fungsional,
dan kedua, kewajiban untuk memberikan jaminan (dan perlindungan) hak (dasar) kepada
setiap orang, tanpa kecuali dan tanpa memandang perbedaan-perbedaan di antara
mereka. Untuk mengukur dan menguji apakah negara memenuhi syarat-syarat yang
dituntut rule of law dipergunakan tolok ukur prosedural, materiil
dan institusional (Bedner).
Istilah
“pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan sanksi dalam
hukum pidana. Pidana adalah sebuah konsep dalam bidang hukum
pidana yang masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami arti dan hakekatnya.
Menurut Roeslan Saleh “pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu
nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu”. Muladi dan Barda Nawawi: berpendapat bahwa
unsur pengertian pidana,meliputi:
a.
pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa
atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b.
pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan
(oleh yang berwenang);
c.
pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang.
Dengan
demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap
masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Disamping itu
Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu
bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana
adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali
dalam masyarakat.Perkembangan teoritis tentang dasar dan tujuan pemidanaan
berkembang seiring dengan pemikiran pada masanya. Diawali dengan munculnya
teori pembalasan, yang menjadikan kejahatan atau pembalasan sebagai dasar
pemidanaan. Kritik atas kelemahan gagasan teori pembalasan kemudian memunculkan
teori tujuan, yang menganggap bahwa pidana dijatuhkan dengan tujuan mencegah
kejahatan. Demikian halnya dengan teori tujuan juga tidak luput dari kekurangan
sehingga mengundang kritik dan memunculkan gagasan teori gabungan dengan
berbagai variasin variasinya, yang menggabungkan proposisiproposisi dari kedua
teori sebelumnya.
Dinamika
teoretik pemidanaan menunjukkan bahwa kebenaran teoripemidanaan relatif, yang
akan mampu menjalankan fungsi teorinya sesuai dengan kemunculan gagasan teori
tersebut, sehingga akan terus melahirkan bangunan teori baru tentang dasar
pemidanaan. Pada saat ini sistem hukum pidana Indonesia ada kecenderungan
menganut pada pandangan teori tujuan. Namun dalam kenyataannya banyak
menimbulkan persoalan dan perdebatan,sehingga sudah saatnya melakukan refleksi
untuk membangun gagasan baru tentang teori hukum pidana Indonesia. Gagasan
tujuan pemidanaan sebagaimana dirumuskan dalam RUU KUHP menunjukkan adanya
pemikiran baru dalam perkembangan teori pemidanaan yang mempunyai ciri lebih
komprehensif dan bernuansa kearifan lokal tentang tujuan pidana.
Daftar
Pustaka :
·
Andi Hamzah. 1993. Sistem
Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.
·
Jurnal Hukum Online Universitas Indonesia,
Hukum Pidana Dalam Prespektif
·
Satjipto Rahardjo.1986. Ilmu
Hukum . Alumni Bandung.
NB: Ditulis sebagai prasyarat seleksi delegasi ALSA Local Chapter Universitas Airlangga untuk POWB Universitas Diponegoro thn 2013
NB: Ditulis sebagai prasyarat seleksi delegasi ALSA Local Chapter Universitas Airlangga untuk POWB Universitas Diponegoro thn 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar